* Pemilihan media Pembelajaran
* Jenis-jenis Media yang dapat dipergunakan untuk pembelajaran PAI
* Sumber Belajar
Imam Ali bin Abi thalib mengatakan, salah satu kelebihan ilmu dari pada harta adalah, apabila harta dibagikan, maka akan semakin berkurang, namun apabila ilmu dibagikan, maka ia akan semakin bertambah.
Rabu, 03 Juni 2015
Selasa, 02 Juni 2015
ETIKA BERBICARA
Hendaknya
pembicaran selalu di dalam kebaikan. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang
artinya:
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan
mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi
sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia".
(An-Nisa: 114).
Hendaknya
pembicaran dengan suara yang dapat dide-ngar, tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu rendah,
ungkapannya jelas dapat difahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat atau
dipaksa-paksakan.
Jangan
membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagimu. Hadits Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam menyatakan: "Termasuk kebaikan islamnya seseorang adalah
meninggalkan sesuatu yang tidak berguna". (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Janganlah
kamu membicarakan semua apa yang kamu dengar. Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu di dalam hadisnya
menuturkan : Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
"Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan
semua apa yang telah ia dengar".(HR. Muslim)
Menghindari
perdebatan dan saling membantah,
sekali-pun kamu berada di fihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta
sekalipun bercanda. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang
menghindari bertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana
di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun
bercanda". (HR. Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Tenang
dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa.
Aisyah Radhiallaahu 'anha. telah menuturkan: "Sesungguhnya Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila membicarakan suatu pembicaraan,
sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya".
(Mutta-faq'alaih).
Menghindari
perkataan jorok (keji).
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Seorang mu'min itu
pencela atau pengutuk atau keji pembicaraannya". (HR. Al-Bukhari di dalam
Al-Adab Mufrad, dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Menghindari
sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam berbicara. Di dalam hadits Jabir Radhiallaahu
'anhu disebutkan: "Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang
paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang
yang berpura-pura fasih dan orang-orang yang mutafaihiqun". Para shahabat
bertanya: Wahai Rasulllah, apa arti mutafaihiqun? Nabi menjawab:
"Orang-orang yang sombong". (HR. At-Turmudzi, dinilai hasan oleh
Al-Albani).
Menghindari
perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman
yang artinya: "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang
lain".(Al-Hujurat: 12).
Mendengarkan
pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak menampakkan bahwa kamu
mengetahui apa yang dibicarakannya, tidak menganggap rendah pendapatnya atau
mendustakannya.
Jangan
memonopoli dalam berbicara,
tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk berbicara.
Menghindari
perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak mencari-cari
kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, karena hal tersebut dapat
mengundang kebencian, permusuhan dan pertentangan.
Menghindari
sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang
rendah
orang yang berbicara.
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ
مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ
عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا
تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ
لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
yang
artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan)
lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan), dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olokan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang
diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan). (Al-Hujurat:
11).
Senin, 04 Mei 2015
Tugas Untuk Kelas Sore 5 Mei 2015
TUGAS
TERSTRUKTUR
Mata Kuliah :
Media Pembelajaran
Hari/Tanggal :
Selasa, 5 Mei 2015
Buatlah perencanaan metode dan media yang akan
diaplikasikan ke dalam pembelajaran.
Mata Pelajaran : Pendidikan Agam Islam dan Budi
Pekerti
Kompetensi Dasar :
Rincian :
Metode yang
akan digunakan
|
Media yang
akan digunakan
|
Perkiraan Alokasi Waktu
|
Alur Pembelajaran dengan metode dan media yang direncanakan
|
Daftar Nama dan Kompetensi Dasar dari materi kelas 8 SMP yang akan
direncanakan
No
|
Nama
|
Kompetensi Dasar
|
1
|
Zainul
Hifzi
|
Q.S.
Al-Maidah
(5): 90–91
dan 32
serta Hadis terkait tentang perilaku menghindari minuman keras, judi, dan pertengkaran.
|
2
|
Muammar
Kadapi
|
Meyakini Nabi Muhammad
SAW sebagai nabi akhir zaman
|
3
|
Siti
Nur Anisah
|
Mempraktikkan shalat sunnah berjamaah dan munfarid
|
4
|
Rose
Daily
|
Menerapkan ketentuan sujud syukur,
sujud tilawah dan sujud syahwi berdasarkan syariat Islam
|
5
|
Kameliana
Wardati
|
Memahami puasa wajib dan puasa sunnah sebagai implementasi dari pemahaman
hikmah puasa wajib dan puasa sunnah
|
6
|
Halimatussa`diah
|
Q.S. Al-Furqan
(25): 63;
dan Q.S.
Al Isra’(17) : 27;
dan Hadis tentang rendah hati, hemat
dan hidup sederhana
|
7
|
Nor
Azizah
|
Q.S. An Nahl (16):114 dan Hadis terkait tentang perilaku perilaku mengonsumsi makanan dan minuman yang halal dan
bergizi
|
8
|
Rif`atul
Hasanati
|
Memahami sejarah pertumbuhan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah
|
9
|
Download Silabus Kelas 8 lengkap disini
http://downloads.ziddu.com/download/23416326/SILABUS_PAI_MTS_SMP_KELAS_8.docx.html/eng
Untuk Buku PAI kelas 8 bisa langsung unduh di google dengan mengetik "download buku PAI kelas 8"
Selasa, 28 April 2015
IQ, EQ dalam Perspektif Umum dan Islam
A.
Pengertian dan Macam-Macam
Kecerdasan
Kecerdasan merupakan salah satu anugerah
besar dari Allah Swt kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu
kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya,
manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya
yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus
menerus.
Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya
hewan pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh
karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan
secara instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita
mengetahui bahwa jutaan tahun yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk
yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh
lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah
punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan
di museum-museum tertentu.
Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ?
Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan
menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif.
Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama,
kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu: (1) kemampuan untuk belajar; (2)
keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk
beradaptasi dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Memang, semula kajian tentang kecerdasan
hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau
biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana
yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya,
atau Thurstone (1930) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari
kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan
dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan
perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat
usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori
Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ
mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada
awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha
membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan
norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.
Adalah Daniel Goleman (1999), salah
seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap
sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang,
yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan
sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan
emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan
orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi
dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
B. Inteligent Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ)
Inteligent Qoutient atau dalam istilah kita
sehari-hari dengan sebutan Kecerdasan Intelektual (IQ). Selama ini kita hanya
diperkenalkan dengan IQ sebagai standar pertama dan utama kecerdasan kita.
Semakin tinggi tes IQ kita, pada umumnya kita pun dikatakan memiliki kualitas
kecerdasan intelektual yang tinggi, dan kemudian kita dipuja-puji sebagai orang
“pintar” dan bahkan “berlian”. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tes IQ
kita, semakin rendah pula derajat kecerdasan intelektual kita, dan kemudian
kita dicap sebagai orang bodoh.
Cerdas-tidaknya otak kita, sepertinya hanya
ditentukan melalui tes kecerdasan yang populer dengan sebutan School
Aptitude Test (SAT). Ini mengantarkan kita menuju dekade-dekade yang oleh Gardner disebut “cara berpikir
IQ”: “bahwa orang itu entah cerdas atau tidak terlahir secara demikian; bahwa
tak ada banyak hal yang dapat Anda lakukan untuk mengubahnya; dan bahwa tes-tes
itu dapat menunjukkan apakah Anda termasuk orang cerdas atau bukan”.
Kekhasan cara berpikir IQ terutama terletak pada
pemikiran rasional dan logis. IQ memang menjadi fakultas rasional dari manusia.
Hal itu misalnya, nampak dari cara berpikir IQ yang cenderung linier, dan
merupakan derivasi dari aspek formal, berlogika Aristotelian serta matematis,
seperti 2+2=4. Cara berpikir di luar kaidah ini dipandang sebagai tidak baku dan bahkan sering
kali dianggap salah.
Selama
bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun
sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks,
ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di
kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama
apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Kemudian Emotional Quotient (EQ) yang dalam istilah
sehari-hari disebut dengan Kecerdasan Emosional (EQ). Benarkah IQ
menjadi kunci kecerdasan untuk meraih masa depan, dan sekaligus satu-satunya
parameter kesuksesan hidup?
TIDAK! Inilah jawaban tegas Daniel Goleman. Fakta
berbicara lain, dan bahkan berbalik total. Sejak dipublikasikannya EQ tahun
1995, temuan riset Goleman cukup untuk berkesimpulan mengapa orang-prang yang
ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ sedang-sedang saja justru menjadi sukses.
Pasti ada faktor lain untuk menjadi cerdas, dan kemudian dipopulerkan Goleman
dengan “kecerdasan emosional” (EQ). Demikian kesimpulan Goleman:
setinggi-tingginya, IQ hanya menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor
yang menentukan sukses dalam hidup, sementara yang 80 persen diisi oleh
faktor-faktor kecerdasan lain.
Memang, yang sedikit agak aneh dan menjadi pertanyaan
bersar adalah: bagaimana membawa kecerdasan pada emosi? Karena, fakta selama
ini sering kali berbicara lain: “emosi sering kali membawa kita kepada sikap
amarah”. Padahal, amarah itu sendiri lazimnya menjerumuskan kita pada sikap tak
terpuji.
Siapa pun di antara kita bisa saja marah kepada orang
lain, karena marah itu memang mudah. Tetapi, demikian saran bijak filosuf
Aristoteles, “marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu
yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal
mudah”.
Sebenarnya, denga paradigma EQ, emosi kita hendak
dikenali, disadari, dikelola, dimotivasi, dan bahkan diarahkan pada kecerdasan:
Pertama,
melalui pengenalan diri terhadap emosi kita terlebih dahulu. Ajaran filosuf
Socrates “kenalilah dirimu” jelas menunjukkan inti kecerdasan emosional pada
diri kita.
Kedua,
emosi tentu saja tidak cukup sekedar untuk dikenali, tetapi lebih lanjut perlu
juga disadari eksistensi kehadirannya dalam mempengaruhi kehidupan emosional
kita. Goleman sendiri menggunakan wacana Kesadaran-Diri (self-awareness) untuk memberikan porsi perhatian pikiran kita
terhadap situasi dan kondisi emosi.
Dengan menyadari sesadar-sadarnya kehadiran
eksistensi emosi ini, kita tak lagi dikuasai oleh emosi, tetapi justru
sebaliknya dan inilah poin Ketiga:
kita lebih bisa mengelola, menguasai, dan bahkan mengendalikan emosi kita, yang
menurut kearifan orang Yunani kuno diberi nama Sophrosyne, yakni “hati-hati dan
cerdas dalam mengatur kehidupan; keseimbangan dan kebijaksanaan emosi yang
terkendali”. Banyak ajaran agama juga mengajarkan kepada kita agar bisa
mengendalikan emosi.
Itulah sebabnya, paradigma EQ yang dikonstruksi
Goleman lebih mengacu pada kesadaran diri untuk mengendalikan emosi. Bayangkan,
apa yang terjadi jika emosi tak terkendali, konsekuensi negatifnya adalah orang
selalu marah-marah. Padahal, sikap marah-marah justru mematikan nalar intelektual
yang secara otomatis “membunuh” potensi IQ dan EQ sekaligus.
Dalam
kontek inilah kita melihat keampuhan EQ dibandingkan dengan IQ. Dalam praktek
kerja sehari-hari, misalnya keampuhan EQ ini begitu tampak dan terasa: penuh
motivasi dan kesadaran diri, empati, simpati, solidaritas tinggi, dan sarat
kehangatan emosional dalam interaksi kerja. Karena itu seringkali orang yang
ber-IQ sedang lebih sukses dibanding yang ber-IQ tinggi.
C. Ajaran Islam
Tentang IQ, dan EQ
Kecerdasan intelektual adalah kemampuan intelektual, analisa,
logika dan rasio. Ia merupakan kecerdasan untuk menerima, menyimpan dan
mengolah infomasi menjadi fakta. Orang yang kecerdasan intelektualnya baik,
baginya tidak ada informasi yang sulit, semuanya dapat disimpan dan diolah,
untuk pada waktu yang tepat dan pada saat dibutuhkan diolah dan diinformasikan
kembali. Proses menerima, menyimpan, dan mengolah kembali informasi, (baik
informasi yang didapat lewat pendengaran, penglihatan atau penciuman) biasa
disebut “berfikir”. Berfikir adalah media untuk menambah
perbendaharaan/khazanah otak manusia. Manusia memikirkan dirinya, orang-orang
di sekitarnya dan alam semesta. Dengan daya pikirnya, manusia berupaya
mensejahterakan diri dan kualitas kehidupannya.
Pentingnya mendayagunakan akal sangat dianjurkan oleh Islam.
Tidak terhitung banyaknya ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis Rasulullah Saw yang
mendorong manusia untuk selalu berfikir dan merenung. Semuanya itu menunjukkan
betapa Islam sangat concern terhadap kecerdasan intelektual manusia.
Manusia tidak hanya disuruh memikirkan dirinya, tetapi juga dipanggil untuk
memikirkan alam jagad raya. Dalam konteks Islam, memikirkan alam semesta akan
mengantarkan manusia kepada kesadaran akan ke-Mahakuasaan Sang Pencipta (Allah Swt).
Dari pemahaman inilah tumbuhnya Tauhid yang murni. “Agama adalah akal, tidak
ada agama bagi orang yang tidak berakal” hendaknya dimaknai dalam konteks ini.
Sekedar contoh mari dilihat ayat-ayat berikut :
1. Firman-Nya dalam al-Baqarah
164 mendorong manusia untuk memikirkan kejadian langit dan bumi, pergantian
malam dengan siang, dan betapa air hujan mengubah tanah yang tandus menjadi
hijau kembali.
¨bÎ)
Îû
È,ù=yz
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
É#»n=ÏG÷z$#ur
Artinya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan
siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia
hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala
jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum
yang memikirkan.
2. Firman-Nya dalam ar-Ra'd
4 mengajak manusia untuk merenungkan betapa variatifnya bentuk, rasa dan
warna tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan, padahal berasal dari tanah yang sama.
Artinya:
dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun
anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak
bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian
tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.
3. Firman-Nya dalam an-Nahl
12 mengimbau orang yang berfikir untuk memikirkan pergantian malam dengan
siang dan perjalanan planet-planet yang kesemuanya itu bergerak dengan aturan
Allah.
4. Teori "Big
Bang” disebut al-Qur'an dalam al-Anbiyaa': 30, teori "Nebula”
(1 C': milyar galaksi) dalam ar-Rahman: 38, thawaf alam
semesta dalam al-Israa: 44, dan “Black Hole”dengan gravitasinya yang
sangat kuat, menjangkar dan menarik seluruh planet agar tetap pada orbitnya,
dalam Yasin 38-40, dan sebagainya.
Artinya: dan Apakah orang-orang
yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu
adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air
Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga
beriman? (al-Anbiyaa': 30)
Sedangkan Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami
dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,
informasi koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Dapat dikatakan bahwa EQ adalah
kemampuan mendengar suara hati sebagai sumber informasi. Untuk pemilik EQ yang
baik, baginya informasi tidak hanya didapat lewat panca indera semata, tetapi
ada sumber yang lain, dari dalam dirinya sendiri yakni suara hati. Malahan
sumber infomasi yang disebut terakhir akan menyaring dan memilah informasi yang
didapat dari panca indera.
Substansi
dari kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami untuk
kemudian disikapi secara manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, dapat memahami
perasaan orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat
menangkap bahasa verbal dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan
menuntunnya agar bersikap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya
Dapat dimengerti kenapa orang yang EQ-nya baik, sekaligus kehidupan sosialnya
juga baik.
Di
samping itu, kecerdasan emosional mengajarkan tentang integritas kejujuran
komitmen, visi, kreatifitas, ketahanan mental kebijaksanaan dan penguasaan
diri. Oleh karena itu EQ mengajarkan bagaimana manusia bersikap terhadap
dirinya (intra personal) seperti self awarness (percaya diri), self
motivation (memotivasi diri), self regulation (mengatur diri), dan
terhadap orang lain (interpersonal) seperti empathy, kemampuan
memahami orang lain dan social skill yang memungkinkan setiap orang
dapat mengelola konflik dengan orang lain secara baik. Dalam bahasa agama, EQ
adalah kepiawaian menjalin "hablun min al-naas". Pusat dari EQ
adalah "qalbu". Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling
dalam, mengubah sesuatu yang dipikirkan menjadi sesuatu yang dijalani. Hati
dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh otak. Hati adalah
sumber keberanian dan semangat, integritas dan komitmen. Hati merupakan sumber
energi dan perasaan terdalam yang memberi dorongan untuk belajar, menciptakan
kerja sama, memimpin dan melayani.
Keharusan memelihara hati agar tidak kotor dan rusak, sangat
dianjurkan oleh lslam. Hati yang bersih dan tidak tercemarlah yang dapat memancarkan
EQ dengan baik. Di antara hal yang merusak hati dan memperlemah daya kerjanya
adalah dosa. Oleh karena itu ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis Rasulullah Saw banyak
bicara tentang kesucian hati. Sekedar untuk menunjuk contoh dapat dikemukakan
ayat-ayat dan hadis berikut:
1. Firman-Nya dalam al-A'raf
179 menyatakan bahwa orang yang hatinya tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya disebabkan kotor, disamakan dengan binatang, malahan lebih hina lagi.
Artinya: dan
Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah) mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah
orang-orang yang lalai.
2. Firman-Nya dalam al-Hajj
46 menegaskan bahwa orang yang tidak mengambil pelajaran dari perjalanan
hidupnya di muka bumi, adalah orang yang buta hatinya.
Artinya: Maka Apakah mereka tidak
berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat
memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena
Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada.
3. Firman-Nya dalam al-Baqarah
74 menegaskan bahwa orang yang hatinya tidak disinari dengan petunjuk Allah
SWT diumpamakan lebih keras dari batu.
4. Firman-Nya dalam Fushshilat
5 menyatakan adanya pengakuan dari orang yang tidak mengindahkan petunjuk
agama bahwa hati mereka tertutup dan telinga mereka tersumbat.
5. Hadis Rasulullah Saw
menyatakan bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, bila ia baik
baiklah seluruh tubuh, dan bila ia rusak, rusak pulalah seluruh tubuh. Segumpal
daging itu adalah hati.
6. Hadist Rasulullah Saw
menyatakan bahwa bila manusia berbuat dosa tumbuhlah bintik-bintik hitam di
hatinya. Bila dosanya bertambah, maka bertambah pulalah bintik-bintik hitam
tersebut, yang kadang kala sampai menutup seluruh hatinya.
Mengacu kepada ayat dan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa
EQ berkaitan erat dengan kehidupan keagamaan. Apabila petunjuk agama dijadikan
panduan kehidupan, maka akan berdampak positif terhadap kecerdasan emosional.
Begitu pula sebaliknya.
D. Sumbangan IQ, dan
EQ dalam Kurikulum Pendidikan
Didalam bidang pendidikan, Pemerintah masih berusaha untuk
mendapatkan formula yang terbaik dalam mendidik pelajar-pelajar di sekolah. Pendidikan
telah begitu merosot hingga pelajar terlibat dalam gangsterisme, vandalisme,
budaya rock, budaya metal, skinhead, narkoba, melawan guru, bahkan paling
sering terjadi perkelahian antar pelajar.
Ada
pihak yang menyarankan pendidikan diarahkan kepada sistem pertumbuhan IQ (intelligence
quotient) semata-mata. Dalam sistem yang ada sekarang, kecerdasan atau IQ
saja yang menjadi indeks pengukur untuk menilai kecerdasan seseorang pelajar.
Namun ada pihak lain yang menentang, sebab IQ hanya salah satu ukuran untuk
menunjukkan kemampuan mental dalam mempelajari ilmu dan menyelesaikan masalah
teoritikal. Ia tidak menunjukkan kepada kualitas pelajar secara menyeluruh yang
sepatutnya merangkum lebih banyak ciri, bidang dan kriterianya.
Kalau diteliti kita akan mendapati
bahwa akhlak, pribadi, jati diri dan perilaku pelajar semakin buruk dan
merosot. Pasti ada sesuatu yang tidak kena. Juga membuktikan bahwa sistem
bidang pengajaran pendidikan para pelajar ada yang kurang dan tidak menyeluruh.
Pribadi pelajar yang terbina berat sebelah dan tidak seimbang. Ada usulan untuk
penambahan kecerdasan lain yang mesti diambil yaitu EQ (emotional quotient).
Harusnya penerapan pembelajaran IQ
perlu di imbangi dengan EQ, kecerdasan intelektual perlu di imbangi dengan
kecerdasan emosi. Kalau tidak emosi para pelajar akan mudah terganggu dan
pelajar akan bertindak mengikut emosi dan dorongan perasaan. Apabila pelajar
mempunyai EQ yang rendah atau kecerdasan emosinya kurang, maka emosinya menjadi
tidak stabil. Mereka akan bertindak mengikut emosi dan mudah terjebak dengan
vandalisme, gangsterisme, keganasan atau mencederakan orang lain.
Tuhan menjadikan manusia mempunyai
sifat batin yang berbeda-beda antara satu sama lain. Ada beberapa jenis sifat atau kekuatan batin
yang menonjol yang merupakan sifat manusia yang berbeda-beda itu. Diantaranya
ialah: yang dinamakan IQ (Intelligence Quotient), dan EQ (Emotional
Quotient). Namun tidak semua orang ataupun para pendidik yang
benar-benar paham tentang kedua kekuatan ini dan bagaimana untuk
mengendalikannya. Setiap orang mempunyai salah satu dari kekuatan di atas.
Jarang ada manusia yang memiliki kekuatan tersebut sekaligus kecuali para Nabi
dan para Rasul. Orang yang mempunyai kekuatan akal selalunya kurang mempunyai
kekuatan perasaan. Kalau seseorang itu mempunyai kekuatan perasaan pula maka
kekuatan akalnya pula kurang.
Sifat, watak dan bakat seseorang
itu bergantung kepada kekuatan batin yang ada padanya. Inilah sebab utama dan
terbesar mengapa berlaku perbedaan sifat, watak dan bakat antara seseorang
dengan orang lain. Inilah diantara hikmah dan rahmat Tuhan dalam penciptaan
manusia. Sifat, bakat, minat dan kecenderungan manusia itu tidak sama dan
berbeda-beda mengikut sifat dan kekuatan batinnya. Ini sesuai dengan keperluan
masyarakat itu sendiri yang tidak sama dan berbeda-beda. Yang kuat akal
berbakat menjadi guru, saint, doktor, teknokrat. Yang kuat perasaan berbakat
menjadi ahli seni, pekerja media, sasterawan dan sebagainya.
Memang benar bahawa sistem
pendidikan sekarang amat lemah dan hanya mementingkan kekuatan akal atau IQ
semata-mata. Tidak ada tempat dan ruang untuk pelajar yang kuat perasaan atau
dalam istilah lain yang kuat EQnya. Oleh karenya mereka ini terpinggir dalam sistem
yang hanya mementingkan IQ semata-mata. Sistem ini tidak relevan bagi mereka.
Tidak heran kalau mereka ini rusak dan hanyut karena tidak dapat menyesuaikan
diri dengan sistem yang ada. Mereka di asah dan diuji untuk menghasilkan kerja
akal padahal kekuatan mereka bukan terletak disitu. Dalam hal-hal yang mereka
minati dan mampu berdasarkan kekuatan perasaan mereka tidak pernah dibina.
Kesannya ialah tekanan perasaan, kekecewaan, putus asa dan kekeliruan. Maka
berlakulah tindak balas dendam sebagai manifestasi kepada kekecewaan, tekanan
perasaan, putus asa dan kekeliruan ini. Yang kuat perasaan pula mendongkol,
murung, merasa inferiority complex, dan putus asa. Di dalam setiap
kekuatan batin yang disebutkan di atas, ada kebaikan dan ada pula keburukannya.
Yang baik akan memberi faedah. Yang buruk pula akan membawa kerugian.
Sifat-sifat baik dan buruk ini adalah seperti berikut:
Kekuatan Akal: Orang yang
kuat akal mempunyai keupayaan berfikir. Melalui pemikirannya itu, dia dapat
membuat berbagai-bagai penemuan dan teori. Dia juga mudah faham dan mudah
mengingati ilmu-ilmu yang dipelajarinya bahkan dia mampu mengambil ilmu yang
tersirat dan yang tersembunyi. Dia juga sangat berhati-hati supaya hasil kerja
akalnya tidak salah. Kelemahannya, orang yang kuat akal selalu asyik-mahsyuk
dengan kerja akalnya sehingga dia selalu terlupa dan lalai dari tanggungjawabnya
terhadap Tuhan, terhadap masyarakat, keluarga bahkan pada dirinya sendiri.
Jiwanya penuh dengan rasa ego maupun sombong (rasa diri hebat).
Kekuatan Perasaan: Orang
yang kuat perasaan selalunya sangat berhati-hati dan tidak gopoh. Dia sangat
bertimbang rasa dan wataknya lemah lembut. Namun keburukan sifat orang yang
kuat perasaan ini ada banyak. Dia bakhil, mudah merajuk, mudah kecewa, suka
menyendiri, rasa rendah diri dan tidak yakin pada diri sendiri. Dia juga mudah
beralah, pemalu, penakut, tidak tahan diuji dan suka buruk sangka.
Dalam mendidik para pelajar,
kekuatan batin mereka harus dikenal pasti terlebih dahulu. Setiap guru dan
pendidik mesti tahu dimana letaknya kekuatan batin setiap pelajar mereka.
Adakah akalnya kuat, perasaannya yang kuat. Kemudian mereka perlu di didik
mengikut kekuatan mereka masing-masing. Setiap pelajar mempunyai sifat-sifat
batin yang baik disamping sifat-sifat batin yang buruk. Tegasnya setiap pelajar
mempunyai kelebihan dan keistimewaan dan juga kekurangan dan kelemahan yang
tertentu bergantung kepada kekuatan batin yang ada padanya. Setiap sifat yang
baik itu tidak akan sempurna selagi tidak di pimpin dengan syariat Islam dan
diarahkan kepada jalan Allah. Begitu juga, setiap sifat yang buruk itu boleh di
didik hingga menjadi baik atau sekurang-kurangnya ia boleh dibendung agar ia
tidak meliar.
Inilah yang perlu dipahami oleh
para guru dan pendidik dan semua yang terlibat dengan para pelajar disemua
peringkat di sekolah, pendidikan daerah, pendidikan negeri dan kementerian
sendiri. Kalau istilah pembelajaran itu berkaitan dengan ilmu, kemahiran dan
akal, istilah pendidikan pula melibatkan pengurusan dan pengendalian sifat
batin pelajar. Selama perkara ini tidak dipahami, dan tidak dijadikan sebagai konsep
dan prinsip dalam mendidik, membimbing dan membentuk para pelajar, selama
itulah kita tidak akan dapat menghasilkan pelajar yang benar-benar cemerlang
lahir dan batinnya.
Di lingkungan
dunia pendidikan, keseluruhan aspek kecerdasan (IQ, dan EQ,) perlu mendapat
bobot perhatian yang seimbang. Hal ini penting mengingat IQ saja tidak menjamin
keberhasilan hidup seseorang, demikian juga kalau hanya sekedar EQ tidak akan
mampu mendukung keberhasilan hidup seseorang secara utuh. Begitu juga dengan penilaian
keberhasilan peserta didik bukan hanya dilihat dari ketepatan waktu
menyelesaikan seluruh program studi, tapi bagaimana perilaku siswa saat
mengikuti evaluasi/ujian, apakah dengan cara-cara yang jujur, tidak mencontek
atau tidak menjiplak makalah orang lain, tidak berupaya mencari bocoran soal
dari lain-lain.
Kalau
kriteria tidak secara cermat dipantau dan diperhitungkan, maka hasilnya akan
nampak tatkala lulusan ini mengabdikan ilmunya ditempat kerja, ia akan terbiasa
berperilaku tidak jujur, korupsi, kolusi, dan perilaku amoral lainnya ia akan
selalu mencari jalan pintas yang mudah ia lakukan untuk mencapai tujuannya
walaupun harus menyikut orang lain, menginjak kepala orang, melanggar norma dan
aturan yang ada, dan lain-lain.
Kesimpulan
1.
Kecerdasan intelektual (IQ) adalah
kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio, sedangkan Kecerdasan
emosional (EQ) adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan
pengaruh yang manusiawi.
2. Selama bertahun-tahun
IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan
tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ
ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi,
pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan
dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
3.
Ajaran Islam mengajarkan tentang perlunya penyeimbangan antara IQ dan EQ
dalam penerapannya khususnya dunia pendidikan.
Saran-Saran
Harusnya penerapan pembelajaran dalam dunia
pendidikan, kemampuan IQ perlu di imbangi dengan kemampuan EQ, yakni kecerdasan
intelektual perlu di imbangi dengan kecerdasan emosi.
Langganan:
Postingan (Atom)