Selasa, 28 April 2015

IQ, EQ dalam Perspektif Umum dan Islam


A.     Pengertian dan Macam-Macam Kecerdasan
Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah Swt kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus.
Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di museum-museum tertentu.
Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu: (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1930) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.
Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
B.   Inteligent Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ)
Inteligent Qoutient atau dalam istilah kita sehari-hari dengan sebutan Kecerdasan Intelektual (IQ). Selama ini kita hanya diperkenalkan dengan IQ sebagai standar pertama dan utama kecerdasan kita. Semakin tinggi tes IQ kita, pada umumnya kita pun dikatakan memiliki kualitas kecerdasan intelektual yang tinggi, dan kemudian kita dipuja-puji sebagai orang “pintar” dan bahkan “berlian”. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tes IQ kita, semakin rendah pula derajat kecerdasan intelektual kita, dan kemudian kita dicap sebagai orang bodoh.
Cerdas-tidaknya otak kita, sepertinya hanya ditentukan melalui tes kecerdasan yang populer dengan sebutan School Aptitude Test (SAT). Ini mengantarkan kita menuju dekade-dekade yang oleh Gardner disebut “cara berpikir IQ”: “bahwa orang itu entah cerdas atau tidak terlahir secara demikian; bahwa tak ada banyak hal yang dapat Anda lakukan untuk mengubahnya; dan bahwa tes-tes itu dapat menunjukkan apakah Anda termasuk orang cerdas atau bukan”.
Kekhasan cara berpikir IQ terutama terletak pada pemikiran rasional dan logis. IQ memang menjadi fakultas rasional dari manusia. Hal itu misalnya, nampak dari cara berpikir IQ yang cenderung linier, dan merupakan derivasi dari aspek formal, berlogika Aristotelian serta matematis, seperti 2+2=4. Cara berpikir di luar kaidah ini dipandang sebagai tidak baku dan bahkan sering kali dianggap salah.
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Kemudian Emotional Quotient (EQ) yang dalam istilah sehari-hari disebut dengan Kecerdasan Emosional (EQ). Benarkah IQ menjadi kunci kecerdasan untuk meraih masa depan, dan sekaligus satu-satunya parameter kesuksesan hidup?
TIDAK! Inilah jawaban tegas Daniel Goleman. Fakta berbicara lain, dan bahkan berbalik total. Sejak dipublikasikannya EQ tahun 1995, temuan riset Goleman cukup untuk berkesimpulan mengapa orang-prang yang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ sedang-sedang saja justru menjadi sukses. Pasti ada faktor lain untuk menjadi cerdas, dan kemudian dipopulerkan Goleman dengan “kecerdasan emosional” (EQ). Demikian kesimpulan Goleman: setinggi-tingginya, IQ hanya menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, sementara yang 80 persen diisi oleh faktor-faktor kecerdasan lain.
Memang, yang sedikit agak aneh dan menjadi pertanyaan bersar adalah: bagaimana membawa kecerdasan pada emosi? Karena, fakta selama ini sering kali berbicara lain: “emosi sering kali membawa kita kepada sikap amarah”. Padahal, amarah itu sendiri lazimnya menjerumuskan kita pada sikap tak terpuji.
Siapa pun di antara kita bisa saja marah kepada orang lain, karena marah itu memang mudah. Tetapi, demikian saran bijak filosuf Aristoteles, “marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah”.
Sebenarnya, denga paradigma EQ, emosi kita hendak dikenali, disadari, dikelola, dimotivasi, dan bahkan diarahkan pada kecerdasan:
Pertama, melalui pengenalan diri terhadap emosi kita terlebih dahulu. Ajaran filosuf Socrates “kenalilah dirimu” jelas menunjukkan inti kecerdasan emosional pada diri kita.
Kedua, emosi tentu saja tidak cukup sekedar untuk dikenali, tetapi lebih lanjut perlu juga disadari eksistensi kehadirannya dalam mempengaruhi kehidupan emosional kita. Goleman sendiri menggunakan wacana Kesadaran-Diri (self-awareness) untuk memberikan porsi perhatian pikiran kita terhadap situasi dan kondisi emosi.
Dengan menyadari sesadar-sadarnya kehadiran eksistensi emosi ini, kita tak lagi dikuasai oleh emosi, tetapi justru sebaliknya dan inilah poin Ketiga: kita lebih bisa mengelola, menguasai, dan bahkan mengendalikan emosi kita, yang menurut kearifan orang Yunani kuno diberi nama Sophrosyne, yakni “hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan; keseimbangan dan kebijaksanaan emosi yang terkendali”. Banyak ajaran agama juga mengajarkan kepada kita agar bisa mengendalikan emosi.
Itulah sebabnya, paradigma EQ yang dikonstruksi Goleman lebih mengacu pada kesadaran diri untuk mengendalikan emosi. Bayangkan, apa yang terjadi jika emosi tak terkendali, konsekuensi negatifnya adalah orang selalu marah-marah. Padahal, sikap marah-marah justru mematikan nalar intelektual yang secara otomatis “membunuh” potensi IQ dan EQ sekaligus.
Dalam kontek inilah kita melihat keampuhan EQ dibandingkan dengan IQ. Dalam praktek kerja sehari-hari, misalnya keampuhan EQ ini begitu tampak dan terasa: penuh motivasi dan kesadaran diri, empati, simpati, solidaritas tinggi, dan sarat kehangatan emosional dalam interaksi kerja. Karena itu seringkali orang yang ber-IQ sedang lebih sukses dibanding yang ber-IQ tinggi.
C.   Ajaran Islam Tentang IQ, dan EQ
Kecerdasan intelektual adalah kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio. Ia merupakan kecerdasan untuk menerima, menyimpan dan mengolah infomasi menjadi fakta. Orang yang kecerdasan intelektualnya baik, baginya tidak ada informasi yang sulit, semuanya dapat disimpan dan diolah, untuk pada waktu yang tepat dan pada saat dibutuhkan diolah dan diinformasikan kembali. Proses menerima, menyimpan, dan mengolah kembali informasi, (baik informasi yang didapat lewat pendengaran, penglihatan atau penciuman) biasa disebut “berfikir”. Berfikir adalah media untuk menambah perbendaharaan/khazanah otak manusia. Manusia memikirkan dirinya, orang-orang di sekitarnya dan alam semesta. Dengan daya pikirnya, manusia berupaya mensejahterakan diri dan kualitas kehidupannya.
Pentingnya mendayagunakan akal sangat dianjurkan oleh Islam. Tidak terhitung banyaknya ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis Rasulullah Saw yang mendorong manusia untuk selalu berfikir dan merenung. Semuanya itu menunjukkan betapa Islam sangat concern terhadap kecerdasan intelektual manusia. Manusia tidak hanya disuruh memikirkan dirinya, tetapi juga dipanggil untuk memikirkan alam jagad raya. Dalam konteks Islam, memikirkan alam semesta akan mengantarkan manusia kepada kesadaran akan ke-Mahakuasaan Sang Pencipta (Allah Swt). Dari pemahaman inilah tumbuhnya Tauhid yang murni. “Agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal” hendaknya dimaknai dalam konteks ini.
Sekedar contoh mari dilihat ayat-ayat berikut :
1.   Firman-Nya dalam al-Baqarah 164 mendorong manusia untuk memikirkan kejadian langit dan bumi, pergantian malam dengan siang, dan betapa air hujan mengubah tanah yang tandus menjadi hijau kembali.
¨bÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏG÷z$#ur
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
2.   Firman-Nya dalam ar-Ra'd 4 mengajak manusia untuk merenungkan betapa variatifnya bentuk, rasa dan warna tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan, padahal berasal dari tanah yang sama.
Artinya: dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.
3.   Firman-Nya dalam an-Nahl 12 mengimbau orang yang berfikir untuk memikirkan pergantian malam dengan siang dan perjalanan planet-planet yang kesemuanya itu bergerak dengan aturan Allah.
4.   Teori "Big Bang” disebut al-Qur'an dalam al-Anbiyaa': 30, teori "Nebula” (1 C': milyar galaksi) dalam ar-Rahman: 38, thawaf alam semesta dalam al-Israa: 44, dan “Black Hole”dengan gravitasinya yang sangat kuat, menjangkar dan menarik seluruh planet agar tetap pada orbitnya, dalam Yasin 38-40, dan sebagainya.

Artinya: dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman? (al-Anbiyaa': 30)
Sedangkan Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Dapat dikatakan bahwa EQ adalah kemampuan mendengar suara hati sebagai sumber informasi. Untuk pemilik EQ yang baik, baginya informasi tidak hanya didapat lewat panca indera semata, tetapi ada sumber yang lain, dari dalam dirinya sendiri yakni suara hati. Malahan sumber infomasi yang disebut terakhir akan menyaring dan memilah informasi yang didapat dari panca indera.
Substansi dari kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami untuk kemudian disikapi secara manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, dapat memahami perasaan orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat menangkap bahasa verbal dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan menuntunnya agar bersikap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya Dapat dimengerti kenapa orang yang EQ-nya baik, sekaligus kehidupan sosialnya juga baik.
Di samping itu, kecerdasan emosional mengajarkan tentang integritas kejujuran komitmen, visi, kreatifitas, ketahanan mental kebijaksanaan dan penguasaan diri. Oleh karena itu EQ mengajarkan bagaimana manusia bersikap terhadap dirinya (intra personal) seperti self awarness (percaya diri), self motivation (memotivasi diri), self regulation (mengatur diri), dan terhadap orang lain (interpersonal) seperti empathy, kemampuan memahami orang lain dan social skill yang memungkinkan setiap orang dapat mengelola konflik dengan orang lain secara baik. Dalam bahasa agama, EQ adalah kepiawaian menjalin "hablun min al-naas". Pusat dari EQ adalah "qalbu". Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubah sesuatu yang dipikirkan menjadi sesuatu yang dijalani. Hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh otak. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan komitmen. Hati merupakan sumber energi dan perasaan terdalam yang memberi dorongan untuk belajar, menciptakan kerja sama, memimpin dan melayani.
Keharusan memelihara hati agar tidak kotor dan rusak, sangat dianjurkan oleh lslam. Hati yang bersih dan tidak tercemarlah yang dapat memancarkan EQ dengan baik. Di antara hal yang merusak hati dan memperlemah daya kerjanya adalah dosa. Oleh karena itu ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis Rasulullah Saw banyak bicara tentang kesucian hati. Sekedar untuk menunjuk contoh dapat dikemukakan ayat-ayat dan hadis berikut:
1.   Firman-Nya dalam al-A'raf 179 menyatakan bahwa orang yang hatinya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya disebabkan kotor, disamakan dengan binatang, malahan lebih hina lagi. 
 
Artinya: dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah) mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
2.   Firman-Nya dalam al-Hajj 46 menegaskan bahwa orang yang tidak mengambil pelajaran dari perjalanan hidupnya di muka bumi, adalah orang yang buta hatinya.
  
Artinya: Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
3.   Firman-Nya dalam al-Baqarah 74 menegaskan bahwa orang yang hatinya tidak disinari dengan petunjuk Allah SWT diumpamakan lebih keras dari batu.
4.   Firman-Nya dalam Fushshilat 5 menyatakan adanya pengakuan dari orang yang tidak mengindahkan petunjuk agama bahwa hati mereka tertutup dan telinga mereka tersumbat.
5.   Hadis Rasulullah Saw menyatakan bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, bila ia baik baiklah seluruh tubuh, dan bila ia rusak, rusak pulalah seluruh tubuh. Segumpal daging itu adalah hati.
6.   Hadist Rasulullah Saw menyatakan bahwa bila manusia berbuat dosa tumbuhlah bintik-bintik hitam di hatinya. Bila dosanya bertambah, maka bertambah pulalah bintik-bintik hitam tersebut, yang kadang kala sampai menutup seluruh hatinya.
Mengacu kepada ayat dan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa EQ berkaitan erat dengan kehidupan keagamaan. Apabila petunjuk agama dijadikan panduan kehidupan, maka akan berdampak positif terhadap kecerdasan emosional. Begitu pula sebaliknya.
D.   Sumbangan IQ, dan EQ dalam Kurikulum Pendidikan
Didalam bidang pendidikan, Pemerintah masih berusaha untuk mendapatkan formula yang terbaik dalam mendidik pelajar-pelajar di sekolah. Pendidikan telah begitu merosot hingga pelajar terlibat dalam gangsterisme, vandalisme, budaya rock, budaya metal, skinhead, narkoba, melawan guru, bahkan paling sering terjadi perkelahian antar pelajar.
Ada pihak yang menyarankan pendidikan diarahkan kepada sistem pertumbuhan IQ (intelligence quotient) semata-mata. Dalam sistem yang ada sekarang, kecerdasan atau IQ saja yang menjadi indeks pengukur untuk menilai kecerdasan seseorang pelajar. Namun ada pihak lain yang menentang, sebab IQ hanya salah satu ukuran untuk menunjukkan kemampuan mental dalam mempelajari ilmu dan menyelesaikan masalah teoritikal. Ia tidak menunjukkan kepada kualitas pelajar secara menyeluruh yang sepatutnya merangkum lebih banyak ciri, bidang dan kriterianya.
Kalau diteliti kita akan mendapati bahwa akhlak, pribadi, jati diri dan perilaku pelajar semakin buruk dan merosot. Pasti ada sesuatu yang tidak kena. Juga membuktikan bahwa sistem bidang pengajaran pendidikan para pelajar ada yang kurang dan tidak menyeluruh. Pribadi pelajar yang terbina berat sebelah dan tidak seimbang. Ada usulan untuk penambahan kecerdasan lain yang mesti diambil yaitu EQ (emotional quotient).
Harusnya penerapan pembelajaran IQ perlu di imbangi dengan EQ, kecerdasan intelektual perlu di imbangi dengan kecerdasan emosi. Kalau tidak emosi para pelajar akan mudah terganggu dan pelajar akan bertindak mengikut emosi dan dorongan perasaan. Apabila pelajar mempunyai EQ yang rendah atau kecerdasan emosinya kurang, maka emosinya menjadi tidak stabil. Mereka akan bertindak mengikut emosi dan mudah terjebak dengan vandalisme, gangsterisme, keganasan atau mencederakan orang lain.
Tuhan menjadikan manusia mempunyai sifat batin yang berbeda-beda antara satu sama lain. Ada beberapa jenis sifat atau kekuatan batin yang menonjol yang merupakan sifat manusia yang berbeda-beda itu. Diantaranya ialah: yang dinamakan IQ (Intelligence Quotient), dan EQ (Emotional Quotient). Namun tidak semua orang ataupun para pendidik yang benar-benar paham tentang kedua kekuatan ini dan bagaimana untuk mengendalikannya. Setiap orang mempunyai salah satu dari kekuatan di atas. Jarang ada manusia yang memiliki kekuatan tersebut sekaligus kecuali para Nabi dan para Rasul. Orang yang mempunyai kekuatan akal selalunya kurang mempunyai kekuatan perasaan. Kalau seseorang itu mempunyai kekuatan perasaan pula maka kekuatan akalnya pula kurang.
Sifat, watak dan bakat seseorang itu bergantung kepada kekuatan batin yang ada padanya. Inilah sebab utama dan terbesar mengapa berlaku perbedaan sifat, watak dan bakat antara seseorang dengan orang lain. Inilah diantara hikmah dan rahmat Tuhan dalam penciptaan manusia. Sifat, bakat, minat dan kecenderungan manusia itu tidak sama dan berbeda-beda mengikut sifat dan kekuatan batinnya. Ini sesuai dengan keperluan masyarakat itu sendiri yang tidak sama dan berbeda-beda. Yang kuat akal berbakat menjadi guru, saint, doktor, teknokrat. Yang kuat perasaan berbakat menjadi ahli seni, pekerja media, sasterawan dan sebagainya.
Memang benar bahawa sistem pendidikan sekarang amat lemah dan hanya mementingkan kekuatan akal atau IQ semata-mata. Tidak ada tempat dan ruang untuk pelajar yang kuat perasaan atau dalam istilah lain yang kuat EQnya. Oleh karenya mereka ini terpinggir dalam sistem yang hanya mementingkan IQ semata-mata. Sistem ini tidak relevan bagi mereka. Tidak heran kalau mereka ini rusak dan hanyut karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan sistem yang ada. Mereka di asah dan diuji untuk menghasilkan kerja akal padahal kekuatan mereka bukan terletak disitu. Dalam hal-hal yang mereka minati dan mampu berdasarkan kekuatan perasaan mereka tidak pernah dibina. Kesannya ialah tekanan perasaan, kekecewaan, putus asa dan kekeliruan. Maka berlakulah tindak balas dendam sebagai manifestasi kepada kekecewaan, tekanan perasaan, putus asa dan kekeliruan ini. Yang kuat perasaan pula mendongkol, murung, merasa inferiority complex, dan putus asa. Di dalam setiap kekuatan batin yang disebutkan di atas, ada kebaikan dan ada pula keburukannya. Yang baik akan memberi faedah. Yang buruk pula akan membawa kerugian. Sifat-sifat baik dan buruk ini adalah seperti berikut:
Kekuatan Akal: Orang yang kuat akal mempunyai keupayaan berfikir. Melalui pemikirannya itu, dia dapat membuat berbagai-bagai penemuan dan teori. Dia juga mudah faham dan mudah mengingati ilmu-ilmu yang dipelajarinya bahkan dia mampu mengambil ilmu yang tersirat dan yang tersembunyi. Dia juga sangat berhati-hati supaya hasil kerja akalnya tidak salah. Kelemahannya, orang yang kuat akal selalu asyik-mahsyuk dengan kerja akalnya sehingga dia selalu terlupa dan lalai dari tanggungjawabnya terhadap Tuhan, terhadap masyarakat, keluarga bahkan pada dirinya sendiri. Jiwanya penuh dengan rasa ego maupun sombong (rasa diri hebat).
Kekuatan Perasaan: Orang yang kuat perasaan selalunya sangat berhati-hati dan tidak gopoh. Dia sangat bertimbang rasa dan wataknya lemah lembut. Namun keburukan sifat orang yang kuat perasaan ini ada banyak. Dia bakhil, mudah merajuk, mudah kecewa, suka menyendiri, rasa rendah diri dan tidak yakin pada diri sendiri. Dia juga mudah beralah, pemalu, penakut, tidak tahan diuji dan suka buruk sangka.
Dalam mendidik para pelajar, kekuatan batin mereka harus dikenal pasti terlebih dahulu. Setiap guru dan pendidik mesti tahu dimana letaknya kekuatan batin setiap pelajar mereka. Adakah akalnya kuat, perasaannya yang kuat. Kemudian mereka perlu di didik mengikut kekuatan mereka masing-masing. Setiap pelajar mempunyai sifat-sifat batin yang baik disamping sifat-sifat batin yang buruk. Tegasnya setiap pelajar mempunyai kelebihan dan keistimewaan dan juga kekurangan dan kelemahan yang tertentu bergantung kepada kekuatan batin yang ada padanya. Setiap sifat yang baik itu tidak akan sempurna selagi tidak di pimpin dengan syariat Islam dan diarahkan kepada jalan Allah. Begitu juga, setiap sifat yang buruk itu boleh di didik hingga menjadi baik atau sekurang-kurangnya ia boleh dibendung agar ia tidak meliar.
Inilah yang perlu dipahami oleh para guru dan pendidik dan semua yang terlibat dengan para pelajar disemua peringkat di sekolah, pendidikan daerah, pendidikan negeri dan kementerian sendiri. Kalau istilah pembelajaran itu berkaitan dengan ilmu, kemahiran dan akal, istilah pendidikan pula melibatkan pengurusan dan pengendalian sifat batin pelajar. Selama perkara ini tidak dipahami, dan tidak dijadikan sebagai konsep dan prinsip dalam mendidik, membimbing dan membentuk para pelajar, selama itulah kita tidak akan dapat menghasilkan pelajar yang benar-benar cemerlang lahir dan batinnya.
Di lingkungan dunia pendidikan, keseluruhan aspek kecerdasan (IQ, dan EQ,) perlu mendapat bobot perhatian yang seimbang. Hal ini penting mengingat IQ saja tidak menjamin keberhasilan hidup seseorang, demikian juga kalau hanya sekedar EQ tidak akan mampu mendukung keberhasilan hidup seseorang secara utuh. Begitu juga dengan penilaian keberhasilan peserta didik bukan hanya dilihat dari ketepatan waktu menyelesaikan seluruh program studi, tapi bagaimana perilaku siswa saat mengikuti evaluasi/ujian, apakah dengan cara-cara yang jujur, tidak mencontek atau tidak menjiplak makalah orang lain, tidak berupaya mencari bocoran soal dari lain-lain.
Kalau kriteria tidak secara cermat dipantau dan diperhitungkan, maka hasilnya akan nampak tatkala lulusan ini mengabdikan ilmunya ditempat kerja, ia akan terbiasa berperilaku tidak jujur, korupsi, kolusi, dan perilaku amoral lainnya ia akan selalu mencari jalan pintas yang mudah ia lakukan untuk mencapai tujuannya walaupun harus menyikut orang lain, menginjak kepala orang, melanggar norma dan aturan yang ada, dan lain-lain.


Kesimpulan
1.    Kecerdasan intelektual (IQ) adalah kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio, sedangkan Kecerdasan emosional (EQ) adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh yang manusiawi.
2.    Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
3.   Ajaran Islam mengajarkan tentang perlunya penyeimbangan antara IQ dan EQ dalam penerapannya khususnya dunia pendidikan.
 Saran-Saran
Harusnya penerapan pembelajaran dalam dunia pendidikan, kemampuan IQ perlu di imbangi dengan kemampuan EQ, yakni kecerdasan intelektual perlu di imbangi dengan kecerdasan emosi.


الكناية



أ- تعرف الكناية
الكناية لغة ما يتكلم به الإنسان ويريد به غيره.
واصتلاحا : لفظ أريد به غير معناه الذي وضع له مع جواز إرادة المعني الأصلي لعدم وجود قرينة مانعة إرادته ۱.
والكناية عند علي الالجارم وصطفى أمين هو لفظ اطلق واريد به لازم معناه مع جواز إرادة المعنى ۲.
وفي معجم المفصل ، الكناة هو اراد الكلام يتضمن معنا يين الأول حقيقي والآخر مجازي ٣.
والكناية من فعل كنّ يكن كناًّ الشيئ : سترة في كنه وغطه وأخفاه ، والعلم و أسرّه ٤.


ب- أقسام الكناية
تنقسم الكناية باعتبار المكني عنه ثلاثة اقسام ، فإن المكنّي  عنه قد يكون صفة ، وقد يكون صفة موصوفاً ، وقد يكون نسبة ٥.
۱- كناية ع صفة وهي الكناية التي تطلب بها صفة هي ما كان المكنى عنه فيها صفة ملازمة لموصوف مذكور في الكلام وهو نوعان :
• كناية قريبة و يكون الإنتقال فيها إلى المطلوب بغيرواسطة بين المعنى المنتقل عنه.والمعنى المنتقل اليه . نحو :
                   رفع العماد طويل النجا  ۞  دساد عشيرته أميرا .
• كناية بعيدة وهي ما يكون الإنتقال  فيها إلى المطلوب بواسطة أو بوسائط  نحو :                      فلان كثيرالرماد
۲-  كناية عن موصوف : الكناية الكناية التي المكنى عنه موصوفا أي يكون المكنى عنه فيها ذاتا ملازمة للمعنى المفهوم  من الكلام بحيث يكون إما معنى واحد كموطن الأسرار كناية عن القلب . نحو: موطن الأسرار.
ويشترط في هذه الكناية ، أن تكون الصفة او الصفات مختلفة الموصوف ، ولا تتعداه ليحصل الإنتقال منها إليه .
٣- كناية عن نسبة : الكناية التي يراد بها نسبة أمر الأخر ، إثباتا او نفيا فيكون المكنى عن نسبة ، أسندت إلى ماله اتصال به  .
نحو : إنّ السماحة و المرؤة والندى  ۞ في قبة ضربت على ابن لمشرج
۩  إما يكون ذو النسبة مذكورا فيها .
                 نحو: اليمن  يتبع ظله  ۞  والمجد يمشي ف كابه 
۩  وإما أن يكون  ذو النسبة غير مذكورا فيها . نحو : خير الناس من ينفع الناس.
تنقسم الكناية أيضا باعتبار الوسائط (اللوازم) والسياق : إلى أربعة  أقسام:
۱- التعريض لغة خلاف التصريح ،
واصطلاحا هو يطلق الكلام ويشار به إلى آخر يفهم من السياق .                نحو : المسلم ن سلم المسلمين من لسانه و يده .

۲- التلويح لغة أن تشير إلى غيرك من بعد.
 واصطلاحا هو الذي   كثرت وسائطه بلا تعريض.
نحو : وما يك في من عيب فإني  ۞  جبان الكلب مهزول الفصيل
٣- الرمز لغة أن تشير  إلى قرين منك خفية نحو سفة أو حاجب .
واصطلاحا هو الذي   قلت وسائطه مع خفاء واللزوم بلا تعريض.
نحو : فلان عريض القفا أو عريض الوسادة .
٤- الإيماء أو الإشارة هو الذي   قلّت مع خفاء وضوح اللزوم بلا تعريض.
نحو : أو ما رايت المجد ألقى رجله ۞  في ال طلحة ثم لم يتحول٦.
ج- بلاغة في الكناية
الكناية مظهر من مظاهر البلاغة ، وغاية لا يصل إليها إلا من لطف طبعه و صفت قريحته ، والسرّ بلاغتها أنها في صور كثيرة تعطيك الحقيقة مصحوبة بدليلها ، والقضية و في طبها برهانها.
ومن أسباب بلاغة الكناية أنها تضع لك المعاني في صور المحسان ولاشك أن هذه خاصة الفنون فإن المصوّر إذا رسم لك صورة للأمل أو اليأس بهرك  وجعلك ترى ما كنت تعجز عن التعبير عنه واضحا ملموسا .
ومن خواص الكناية أنها تمكّن من أن  تشفي غلتك من غير أن تجعل له سبيلا ودون أن تخدش وجه الأدب .
ومن أوضح ميزات الكنايه التعبير عن القبيح بما تسيغ الآذان  سماعه ، وأمثلة ذلك كثيرة جدّا في القرآن الكريم وكلا العرب ، فقد كانوا لا يعبرون عما لا يحسن ذكره إلا بالكناية ٧.
د- الأملثلة والبحث.
سيأتي الأملثلة من بعض آيات القرآن الكريم التي يدل على الكناية اما صفة وموصوف ونسبة .
۱- قال الله تعالى  : " الرَّحْمٰنُ عَلى الْعَرْشِ اسْتَوَى  ( طه : ۲٠)
اي ذلك الرب الموصوف بصفات الكمال و الجمال هو الرحمن الذي استوى على عرشه استواء يليق بجلاله من غير تجسيم ، ولا تشبيه ، ولا تعطيل ، ولا تمثيل  ماهو مذهب السلف ۸ الذي يفوضون علم المتشابه الله تعالى  ، وأما الخلق بمعنى صحيح لائقبه سبحانه وتعالى فيقول : إن المراد بالإستواء ،  الإستواء له معنيان ، الركوب و الجلوس ، والإستواء بالقهر و التصرف وكلا معنيين وارد في اللغة ٩ وهذه آية من مثال الكناية من صفة .
۲- وقال الله تعالى : ..وحملنه على ذات الواح و دسر (القمر : ۱٣)
الكناية (وحملنه على ذات الواح و دسر) كناية عن السفينة التي تحو الأخشان و المسامر . أي حملنا نوحا ً على السفينة ذات الألواح الخشبية العريصة المشدودة بالمسامير . قال البحر : وذات الألواح والدسر هي  السفينة التي أنشأها نوح عليه السلام ، ويفهم من هذين الوصفين أنها (السفينة) فهي صفة تقوم مقام الموصوف وتنوب عنه ونحوه : قميصي مسرودة من حديد أي درع ، وهذا من فصيح الكلام و بديعه ، ولو جمعت  والموصوف لم يكن بالفصيح ، والدسر : المسامر .
و هذه الأية من مثال كناية عن موصوف ١٠.
٣- قال الله تعالى  : " أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ إلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَ قُرْآن الْفَجْرِ ۗ  إنَّ قُرْآنَ الْفجْرِ كاَنَ مَشْهُوْدًا.
الإظهار في مقام الإضمار لمزيد الإهتمام و العناية (    إن قرآن الفجر كان مشهودا)بعد قوله (قرآن الفجر) اي تشهده ملائكة الليل و النهار كما في الحديث  : (يتعاقبون فيكم ملائكة باليل و ملائكة النهار فتجتمعون في صلاة العصر ، وصلاة الفجر ) الحديث ، قال المفسرون : في الآية الكريمة إشارة إلى الصلوات المفروضة ، فدلوك الشمس زوالها وهو إشارة إلى الظهر و العصر ، وغسق الليل ظلمته و هو إشارة إلى المغرب والعشاء ، و قرآن الفجر صلاة الفجر ، فالآية رمز الصلوات الخمس.  وهذه آية من مثال الكناية عن نسبة ۱١ 



الباب الثالث
الإختتام

الخلاصة
۞ الكناية لفظ أطلق و أريد به لازم معناه مع جواز إرادة ذلك المعنى .
۞  تنقسم الكناية باعتبار المكني عنه ثلاثة اقسام ، فإن المكنّي  عنه قد يكون صفة ، وقد يكون صفة موصوفاً ، وقد يكون نسبة.








المراجع
۩ التفسير المنير في العقيدة والشريعة و المنهج . اللأستاذ الدكتور وهبة الزهيلي . دار الفكر المعاصر : بيروت، لبنان.
۩ صفوة التفاسير تفسير القرآن العظيم تأليف محمد علي الصبوني دار الفكر. بيروت لبنان.
۩ جواهر البلاغة في المعاني والبيان و البديع تأليف السيد أحمد الهاشمي . دار الفكر. بيروت لبنان.
۩ المعجم المفصل في علوم اللغة . الدكتور محمد التنجمي و الأستاذ راجي الأسمر دار الكتب العلمية . دار الفكر. بيروت لبنان.
۩ المعجم المفصل في علوم البلاغة البديع والبيان والمعاني تأليف أحمد شمس الدين . دار الفكر. بيروت لبنان.
۩ البلاغة الواضحة تأليف علي الجارم ومصطفى آمين. سوربايا
۩ حاشية الصاوي تأليف الشيخ أحمد الصاوي المالكي.دار الفكر. بيروت لبنان.


۱ السيد أحمد الهاشمي ، جواهر البلاغةف المعاني و البيان والبديع، بيروت .ص: ٢۹٥
۲ البلاغة الواضحة . ص : ١٢٥
٣ الدكتور محمد التونجمي والأستاذ راجي الأسمار ( بيروت ) ص: ٤٨٥
٤ أحمد شس الدين ، المعجم المفصل في علوم البلاغة ، البديع والبيان و المعاني . ص: ٦٢۸
٥ البلاغة الوضحة
٦ جواهر البلاغة
٧ بلاغة الواضحة .ص:٦٠
۸ صفوة التفاسير
٩ حاشية الصاوي
١٠ صفوة التفاسير
۱١ نفس المراجع